Selasa, 08 April 2008

Enam Jam Dari Bandung

ini perjalanan saya Februari kemaren... tapi masih keinget-inget sampe sekarang... makanya saya tulis lagi di sini...

Mendung turun pelan-pelan di atas langit Bandung Selatan, hari Senin 4 Februari 2008, sekitar jam 10 lewat. Tapi si CJ hitam putih tetap melaju, meski dihadang kabut melayang menaungi bumi Pangalengan. Sedikit gerimis membasahi berhektar-hektar kebun teh, dan para wanita pemetik teh tampak baru selesai melaksanakan tugasnya siang itu. saya tersenyum sendiri, baru sadar dari mana mungkin beberapa desainer mendapat ilham rancangannya, waktu seorang gadis pemetik teh terlewati si CJ hitam putih yang saya tumpangi : baju tangan panjang over size abu-abu dari kaus yang sudah tampak sangat nyaman, menutupi selembar baju ungu tua yang tampak lebih ketat dibawahnya dengan panjang setengah paha, scarf membelit leher, dan celana panjang abu-abu yang dimasukkan ke dalam boot hijau army, serta satu lagi peralatan ‘perang’ yang menyertai waktu-waktu dinasnya, bandana hijau tua yang menutupi sebagian rambut. Tapi yang pasti ngga mungkin juga ada caping seperti yang ditenteng si gadis pemetik teh di atas catwalk.

This is the catwalk of true life… dimana ibu-ibu tua renta masih harus nyuhun suluh alias membawa kayu bakar di kepala dari hutan yang jauhnya empat sampai enam kilo dari rumahnya, dimana anak-anak sekolah jalan kaki dari rumah sepagi mungkin supaya jara 2-3 kilo ngga bikin mereka terlambat duduk di kelas, dimana gadis-gadis remaja harus rela melepas kesempatan sekolah karena harus menikah demi keluar dari jeratan ekonomi, dan para ayah benar-benar menghitam punggungnya demi sekarung kacang untuk bisa ditukar dengan seliter beras.

kotakotaSekitar jam ½ 1 siang, akhirnya sampe juga di tempat tujuan pertama : Cisewu. Sebuah kecamatan, meski disebut 'kota' , hiruk pikuknya jauh beda dengan Bandung.rumah-rumahnya dibangun di pinggiran jalan besar, sebagian diatas bukit-bukit diantara pohon-pohon besar nan tinggi. Saya buru-buru merogoh tas, periksa HP. Hah! Masih ada sinyal. Fuuh! Kedatangan kami (Saya, sepupu perempuan saya, Paman dan Bibi) disambut singkong goreng yang pulen bukan main, tanpa melewai proses perebusan dengan bumbu A,B,C,D, Cuma bawang putih dan garam. Dimasak diatas wajan tanpa lapis Teflon, dengan tenaga hawu (tungku sederhana berbahan bakar kayu). Kayu-kayu panjang menjulur masuk ke hawu dalam dapur berlantai papan, api menyala merah dan besar, tapi si Ibu pemilik rumah tampak sumringah dan terbiasa dengan itu. Ngga takut apinya kelewat besar terus membakar seluruh rumah yang bahannya dari bilik dan papan. Bahkan dengan santainya juga menggendong anak balitanya sambli mengobrol dengan kami.

“Minyak mahal, Neng. Opat rebu saleter… ah mending ge ku suluh we. Tinggal mulungan.” Katanya sambil tertawa renyah. Sekilas wajah si ibu yang kelihatannya berumur ngga jauh beda dengan saya mirip Dina Mariana. And she’s happy… dengan rumah sederhananya yang tidak dilengkapi furniture, hanya dengan TV 14 inci yang bisa pindah channel sendiri, dapur dan peralatan masak sederhana… God… bisa ngga ya saya seperti dia?

Malamnya angin bertiup kencang, salah satu pohon di depan rumah tumbang, jatuh ke pematang sawah. Baru ketauan paginya, waktu kami siap-siap pergi lagi menuju tempat berikutnya. Cikalakay. 1 jam setengah dari Cisewu.

Misi perjalanan ini sebenernya Cuma liburan sambil menengok kebun. Kebun punya Paman dan Bibi saya. Paman saya JePang, alias Jelema Pangsiunan atau seorang pensiunan PNS, Bibi saya seorang ibu rumah tangga. Kebun di Cikalakay adalah proyek setelah pensiun yang dirintis sejak 4 tahun ke belakang sebagai income pengganti gaji tetap. Cara pintar untuk menanamkan modal, sekaligus mempekerjakan diri sendiri daripada uring-uringan di rumah pasca pensiun.

Rute menuju Cikalakay lumayan memacu adrenalin. Buat yang suka off-road atau buat yang suka nge-trail kayaknya ni cocok buat sekedar latihan penyesuaian, tracknya lumayan memicu emosi saya, sampe jok mobil depan mengkerut-kerut bekas saya pegangan. Maklum ini pertama kali saya dibawa off-road pake four-wheel , kalo ngga malu pengennya teriak. Apalagi waktu ban mobil belakang ‘ngelawan’ dibelokkin dan malah ngebawa mobil minggir ke jurang. “Maaa!!!”

Tapi katanya, kalau hujan track-nya bisa lebih parah dari itu, dan dulu lebih parah lagi. (masih bisa lebih para lagi ternyata). Culu belum ada batu-batu besar yang nempel di permukaan jalan kaya sekarang. Semuanya tanah merah melulu malah sempet longsor di tengah jalan segala. Untungnya setelah ujan semalem siangnya terang cerah ceria, jadi jalanan kering. Untung!

Setelah rute ‘goyang pinggang’ lewat, kami disapa lapangan hijau luas erbatas kebun jagung dan sepetak sawah. Di salah sat sisinya sebuah pondok bilik berdiri, di dekatnya ada bangun bambu kecil yang tampaknya kamar mandi, dan di diagonalnya ada saung kecil terbuka. Di depan saung terhampar karung plastik bertabur kacang tanah, beberapa ekor ayam sedang dengan senang hati mematuk-matuk, lalu dihalau seekor anjing kampung hitam-putih.

“Kéker!!” Panggil Bibi saya dari dalam mobil. Kéker itu ternyata nama si anjing kampung. Dinamai Kéker alias teropong karena ada bulat putih melingkari mata si anjing berwajah bahagia meski berbadan kurus itu.

DI Cikalakay ini… wow… saya harus berurusan dengan kamar mandi bambu tanpa pintu. Sempat mondar-mandir nahan pipis, sebelum akhirnya nemu karung plastik buat nutupin lubang sebesar pintu di tempat masuk kamar mandi. Waaah…

Di daerah ini keadaannya lebih memprihatinkan. Soal rumah biliknya ngga usah dibahas deh, semua orang tau rumah-rumah di desa umumnya berdinding bilik dan berlantai papan. Di sini juga masak pake hawu, tapi harus di luar rumah di dekat saung karena dapurnya lebih kecil dari pada yang di Cisewu.

Selain belum ada listrik, ngga ada sinyal telepon selular, susah air, juga langka sarana pengobatan.

Sore itu Bu Elin, pemilik rumah, masak kesorean karena anaknya tiba-tiba panas. Baru bisa pindah tangan waktu Pak Elin pulang dari kebun. Waah, alamat salatri ini mah! Tapi salatri alias melilit gara-gara kelaparan ngga ada apa-apanya dibanding mirisnya ngeliat keadaan anak Bu Elin yang mukanya sembab sehabis menangis sepanjang sore. Rupanya sejak kemarin di kaki Ujang Rik-Rik tumbuh benjolan sebesar jerawat kecil namun bening. Pagi ini bejolannya pecah gara-gara si Ujang main ke kebun, sampai akhirnya panas waktu sore. Waktu ditanya soal obat si ibu Cuma bilang,

“Udah tadi ka Wetan, tos dijampe-jampe.” Udah tadi ke Wetan, udah dijampi-jampi.

Really? Masa sih infeksi bisa sembuh kena jampi-jampi.

Rupanya itu adalah kata lain dari ‘apa daya’. Mantri Cuma dateng beberapa bulan sekali ke daerah itu, dan buat pergi ke Cisewu yang ada fasilitas puskesmasnya cukup jauh belum tentu juga dokternya lagi ada. Jadi harus puas dengan obat seadanya dari Tetua Desa, atau jampi-jampi. Untungnya sore itu sang Tetua Desa datang mengantarkan Sulfanilamit buat obat sementara, ditambah Nutrimoist dari Bibi saya yang kena-mana bawa salep serbaguna itu.

Tapi kemirisan belum selesai di situ. Besoknya setelah menunggu air, yang mengucur sebesar buntut tikus memnuhi jolang-jolang di kamar mandi, sambil masak tutug oncom, sambel muncang dan goreng tongkol, saya dan sepupu saya duduk-duduk di saung, menikmati angina sejuk pengobat hawa panas menyengat. Beberapa anak SD pulang sekolah berduyun-duyun, lalu berhenti di balik tanamn-tanaman teh-tehan setinggi kepala mereka. Sebagian lainnya lari-lari ke lapangan main bola, lari-larian keliling lapangan sambil tertawa-tawa. Saya pikir mereka mau pulang ke rumah, taunya malah nontonin saya yang lagi dengerin sepupu saya curhat. Jadi berasa seleb… ada apa dengan gue?

Usut punya usut, ternyata jarang banget ada orang luar desa yang datang, sampe mungkin mereka ingin tau apa yang mau kami lakukan di sana.Dan anak-anak itu bukan mau pulang sekolah, tapi sedang gantian belajar. Mereka main- dulu sementara anak-anak lainnya dapat giliran belajar. Dan coba tebak, bekal mereka ke sekolah apa? Selembar kertas pembagian dari sekolah dan sebatang pensil. Buku, pensil, pulpen, penghapus apalagi mistar dan penyeru adalah barang langka yang berharga buat kelangsungan kegiatan belajar mereka. Dan benar-benar mereka perlakukan sebagai harta karun. Jadi inget buku-buku tulis yang masih banyak bersisa halaman-halamannya di rumah dan Cuma jadi penghuni tanpa pernah disentuh-sentuh lagi setelah 3 tahun ngga kuliah lagi…

Anyway… besoknya Ke Cidoro. Lebih jauh lagi! Rutenya lebih ngeri. Lewat daerah yang disebut Belenong oelh penduduk setempat. Jalannya bukan mengitari bukit atau gunung seperti yang sudah sudah, tapi naek! Percaya ngga ada jalan yang nanjak 45°, lebar satu mobil, berbatas daerah rumput-rumput selebar 40 Cm-an dengan jurang menganga dii kedua sisinya. Aaaarghh!! Kalau dipikr stress ya stress… tapi begitu liat ke depan… waaa… Lautan membentang, daerah pantai Ranca Buaya menyapa dengan obak membuih putih menggapai-gapai daerah cokelat muda. Subhanallah…

Di kaki Bukit terlihat liuk-liuk sungai menuju muara, lalu air di muara yang menghambur ke laut…semudah itu… dari tawar jadi asin...dari mengalir menjadi menggelora…dari sungai ke lautan lepas.

Saya merenung beberapa waktu dalam perjalanan dari pulang. Setelah melewati liburan a’la ‘Jika Aku Menjadi’-nya TransTV, Cisewu, Cikalakay dan Cidoro. Di luar jendela CJ hitam putih tempat saya duduk,

Anak-anak

SD

di bawah topi-topi merah dan baju merah putih kebanggaan mereka menyusuri jalanan kecil naik turun entah pulang atau pergi sekolah.

Wah… perjuangan mereka lebih berat daripada waktu saya sekolah dulu yang masih bisa pake angkot. Yang susah disuruh sarapan sebelum ke sekolah, belum telat bangunnya, belum males ngerjain PR-nya, belum males masuk sekolahnya… anak-anak di Cisewu dan Cikalakay mau jalan sejauh itu dari pagi buta atau di bawah teriknya matahari demi sekolah dan pengetahuan yang mereka kumpulan dalam selembar-demi selembar kertas pembagian.

Pamanku bilang, orang-orang Cikalakay jarang yang bisa makan telur meski mereka beternak ayam. Telur ayam lebih berharga kalau mereka tukar dengan beras. Dan jangan coba-coba cari teh celup di warung, meskipun dekat dengan daerah penghasil teh, Cikalakay dan sekitarnya Cuma kebagian sisanya kalau pasar hari Rabu digelar. Di hari rabu itu juga mereka bisa dapat sayuran segar. Selebihnya, jangan coba-coba cari bangkuang atau jambu air atau mangga muda yang bisa dianggap buah-buah ‘rakyat’, buktinya mereka Cuma bisa nemu buah-buahan itu dalam rujak dari tukang jualan yang Cuma dagang kalau ada acara-acara besar seperti kenaikan kelas, atau ada pejabat datang meninjau daerah. Terus gimana kalau ngga? Ya ketemunya SIngkong, Ubi, jagung, kacang tanah, kacang panjang merah, timun lagi…

Mungkin harusnya banyak yang bisa mereka dapatkan dari tanah mereka, seandainya mereka ngga terdesak kebutuhan makanan pokok. Ih…sedihnya… ironis…tapi nyata…

Sejenak saya merenungi kehidupan yang sedang saya jalani… begitu banyak ketakutan-ketakutan dalam hidup yang belum pernah saya coba untuk taklukan, waktu-waktu yang mungkin terbuang percuma, kesempatan-kesempatan terbengkalai, dan segala sesuatu yang seharusnya saya syukuri…bahwa Life is just like that…

Hidup memang harus melewati jalan yang terjal yang dikepung jurang, harus belajar menghadapi ngerinya angin kencang, hujan-hujan berpetir, menikmati indahnya pantai dan sensasi hijau segar kebun teh, menguningnya padi-padi, gemericik air yang menenangkan, tawa-tawa tulus, atau kadang air mata juga… supaya kita tau kita adalah makhluk tidak berdaya di hadapan Tuhan, yang hanya bisa berusaha untuk melakukan yang terbaik supaya hidup kita lebih baik… hidup, mati, jodoh, rejeki, semua sudah diatur… tinggal berusaha dan berdoa tanpa kenal lelah…

“Allahuma inna audzubika min bukhli, wa audzdubika min jubni, wa audzubika an aradda ila ardzalil umuur, wa audzubika min fitnatidunya, wa audzubika min adzdzabil qubr...amin.”

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sebenernya ga perlu 6 jam ke cisewu kalau kita bisa terbang... anggap 6 jamm itu aadalah kenikmatan yang tiada tara... ketika sebuah mobil mikro,,,,,,,bledag bledug kana jalan,,,, tapi ,, walau begitu,,,, jangan kapok buat ka CISEWU,,,, I LVEU CISEWU

Haiii SemuWwwaa....

selamat datang di blognya Adisti ga pake 'Y'!!
let's share... everything...(unless your boy/girlfriend...or your nasty smelly socks!)

DAriTalaga ToGa

DAriTalaga ToGa
Yang kiri tuuu Tampomas...yang kanan Ciremai.